Bencana alam yang menimpa Wasior, Mentawai, dan Gunung Merapi tahun lalu menyentak rasa kemanusiaan bangsa Indonesia. Rakyat mengorbankan waktu, tenaga, dan pekerjaan demi membantu korban bencana. Mereka tidak menunggu publikasi. Mereka hanya menjalankan ajaran leluhur, saling menolong tanpa pamrih.
Sikap untuk menolong sesama muncul begitu saja. Mereka tidak mengharapkan sesuatu dari membantu korban bencana alam. Mereka hanya ingin meringankan beban saudara-saudara sebangsa yang tengah menderita.
Salah satu contoh adalah Yanto, Kepala Desa Banyuroto, Kecamatan Sawangan, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Saat ribuan warga Kecamatan Dukun, Magelang, dan Selo, Boyolali, mengungsi besar-besaran akibat erupsi Gunung Merapi, 5 November 2010, dia langsung menyiapkan penampungan dan dapur umum. Walaupun Desa Banyuroto tidak ditunjuk sebagai lokasi pengungsian, Yanto dengan sigap menyiapkan 90 rumah warga, sekolah, dan balai desa untuk menampung para pengungsi.
Dia pun langsung menginstruksikan warga menyumbang lima bungkus nasi dan lauk-pauk setiap keluarga untuk kebutuhan pangan pengungsi. Ikatan batin senasib sepenanggungan membuat warga tak berkeluh kesah melayani para pengungsi sampai pemerintah turun tangan. Semuanya dilakukan warga Desa Banyuroto dengan senang hati. ”Menolong sesama adalah kewajiban kita semua,” ujar Yanto.
Bencana alam memang tidak diinginkan siapapun, karena itu sudah menjadi bagian kita untuk membantu para korban. Kita ada untuk membantu mereka keluar dari rasa sakit yang mereka rasakan baik fisik maupun psikis.